Banyaknya pungutan liar (pungli) di sekolah membuat lembaga pendidikan itu tak ubahnya pasar. Setidaknya ada 26 potensi pungli yang terjadi di lingkungan sekolah.
Demikian salah satu kesimpulan yang bisa diambil dari diskusi bertema Setop Pungli di Sekolah yang digelar Yayasan Satu Karsa Karya, Kamis (3/11).
Dalam diskusi yang digelar di Rumah Makan Pring Sewu ini salah seorang peserta dari Masyarakat Peduli Pendidikan Surakarta (MPPS), Agus, menyuarakan pandangannya yang keras soal komodifikasi sekolah. “Sekolah bukan pasar,” demikian katanya. Sayangnya, menurut dia, sekolah sekarang tak ubahnya seperti pasar serba ada yang menyediakan berbagai macam barang untuk peserta didik. Butuh seragam atau kain seragam ada, butuh buku ada, butuh jasa kursus ada, bahkan butuh sepatu dan talinya pun sekolah menyediakan.
“Lantas apa bedanya sekolah dengan pasar? Apa-apa yang dijual di sekolah itu ya saya yakin pasti laku. Tapi ada benar yang seperti itu? Lantas dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) itu di mana? Apa benar BOS tidak cukup? Mana transparansi laporan penggunaan BOS? Yang tahu kan hanya sekolah, sementara masyarakat tak pernah tahu bagaimana laporan pertanggungjawabannya,” ujar dia.
Keresahan Agus serupa dengan keresahan S.T. Kartono dalam bukunya berjudul Sekolah Bukan Pasar, Catatan Otokritik Seorang Guru, yang diterbitkan Kompas, 2009 lalu. Dalam bukunya, Kartono menulis tentang peran kepala sekolah dan guru yang saat ini tak ubahnya seperti belantik. Mereka nyambi berjualan buku dengan memanfaatkan sistem diskon yang ditawarkan percetakan, berjualan seragam dari diskon yang ditawarkan toko tekstil, atau berjualan komputer atas dasar kerja sama dengan toko elektronik yang saling menguntungkan.
Peserta diskusi yang lain yang merupakan mantan guru SMAN 4 Solo, Haryanto, mengungkapkan kegelisahan senada. Haryanto melihat pungutan liar (pungli) masih kerap terjadi di sekolah negeri. Ada 26 dugaan pungli yang ia catat dan ia sampaikan di forum berdasarkan pengalamannya mengajar selama puluhan tahun.
Menurut Haryanto, pungli tidak hanya menyasar anak didik dan orangtua siswa, namun juga guru. Salah satu contohnya adalah proses pengangkatan kepala sekolah yang selalu melibatkan uang di luar regulasi. “Saya juga melihat proses kenaikan pangkat tak bisa lepas dari uang. Jadi bukan hanya siswa yang dipungli. Guru juga dipungli. Kalau mau jujur, yang seperti itu asti yang terlibat di atasnya sekolah kan,” kata dia.
Haryanto juga mempertanyakan tradisi memberikan uang transportasi untuk tim monitoring dan evaluasi (monev) yang datang ke sekolah serta uang yang sama untuk distribusi naskah ujian nasional. Khusus untuk distribusi naskah UN, menurut Haryanto, sudah dialokasikan di APBD masing-masing daerah. Dia khawatir ada dana ganda untuk pembelanjaan kegiatan yang sama.
Menanggapi keresahan para peserta, Direktur YSKK, Suroto, mengatakan pemberantasan praktik pungli mendapat momentum saat Presiden Joko Widodo (Jokowi) ikut menyaksikan operasi tangkap tangan (OTT) di Kemenhub, 11 Oktober lalu. Meski nilainya “hanya” ratusan juta rupiah, namun kehadiran Presiden menjadi penegas pungli harus diberantas.
Terkait pungli di sekolah, khususnya sekolah negerai, Suroto menyampaikan temuan YSKK menunjukkan hal tersebut masih terus terjadi. Peluang pungli muncul tatkala Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) No. 44/2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan pada Satuan Pendidikan Dasar terbit. Regulasi yang mengatur pungutan di sekolah swasta dan sumbangan di sekolah negeri kerap dimanfaatkan para guru yang tidak bertanggung jawab.
“Kasus hukum tak menggunakan Permendagri ini karena di dalamnya tak mengatur sanksi. Kasus pungli (pungutan maupun sumbangan) mengacu kepada UU No. 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang menggunakan unsur memperkaya diri sendiri,” ujar dia.
Dalam diskusi yang dihadiri guru, kepala sekolah dan pemerhati pendidikan ini hadir narasumber lainnya yakni perwakilan Disdikpora, Wahyono; perwakilan dari Inspektorat, Sulistyowati; Kepala SMPN 1 Bulu, Murdiyanto; dengan moderator Atu Prawitasari, redaktur Harian Umum Solopos.
Sumber: Solopos edisi cetak Sabtu, 5 November 2016