Struktur tanah yang berbatu menjadi pemandangan tersendiri kala menjejakkan kaki di bumi Gunungkidul
Hamparan bukit kapur yang kering akibat sumber mata air yang terbatas berpadu dengan struktur tanah yang berbatu menjadikan kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu daerah yang tertinggal. Namun hal inilah yang juga membentuk karakter masyarakatnya menjadi para pekerja keras.
Kabupaten Gunungkidul, merupakan satu dari empat kabupaten yang terletak di Provinsi D.I. Yogyakarta. Dengan luas wilayah mencapai 148,536 Ha (1.485,36 km2) atau 44,63% dari luas DIY. Menurut Sensus Penduduk tahun 2012, jumlah penduduknya adalah 675.382 jiwa meliputi 193.478 KK, terdiri dari 326.703 jiwa laki-laki dan 348.679 jiwa perempuan yang tersebar di 18 kecamatan, 144 desa, 1431 padukuhan, 1521 RW dan 6832 RT.
Setiap menapakkan kaki di bumi Kabupaten Gunungkidul, kita akan merasakan atmosfer yang berbeda. Sepanjang perjalanan terhampar bukit kapur berwarna putih yang kering akibat sumber mata air yang terbatas, berpadu dengan struktur tanah berbatu yang berwarna hitam. Kondisi alam inilah yang dianggap oleh banyak pihak menjadi penyebab persoalan kemiskinan sehingga berdampak pada rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat. Sehingga tidak mengherankan apabila Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal memasukkan Kabupaten Gunungkidul sebagai salah satu dari 199 kabupaten daerah tertinggal di Indonesia. Dari 144 desa yang ada di Kabupaten Gunungkidul, masih terdapat 42 desa atau 29,17% yang masih berstatus desa tertinggal.
Itulah mengapa banyak masyarakat Gunungkidul yang berusia produktif lebih memilih untuk mengadu nasib (merantau) ke kota-kota besar seperti Yogyakarta dan Jakarta dalam rangka memperbaiki taraf kehidupan mereka. Fenomena merantau ini telah menjadi warisan turun temurun hingga saat ini, meskipun sektor pekerjaan yang mereka dapatkan sebagian besar adalah di sektor informal, seperti pedagang, buruh bangunan, pekerja rumah tangga, dll.
Potensi Didikan Alam
Masyarakat Gunungkidul terkenal dengan karakternya sebagai pekerja keras, hal ini tidak terlepas dari karakter alam tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan, yang menuntut mereka untuk bisa hidup dalam situasi alam yang sulit. Tak terkecuali dengan kaum perempuannya, terlebih lagi sebagian dari mereka harus menjadi nahkoda keluarga. Suami yang berada di perantauan memaksa mereka—para perempuan—untuk lebih kuat lagi dalam menghadapi kesulitannya.
Akhir tahun 2009, menjadi titik awal perjuangan para perempuan di kabupaten Gunungkidul, khususnya di desa Watusigar dan desa Kampung, kecamatan Ngawen dan desa Semin, kecamatan Semin. Kehadiran YSKK dengan membawa misi “perubahan” melalui pengembangan ekonomi kerakyatan telah membangkitkan semangat dan tekad para perempuan di tiga desa tersebut. Keuletan dan kejujuran yang memang sudah melekat pada diri serta semangat dan tekad untuk berubah menjadi modal besar untuk memenuhi perubahan tersebut.
Koperasi Perempuan sebagai Alat Perjuangan
Agenda perubahan pun dimulai, dengan difasilitasi oleh YSKK para perempuan yang ada di tiga desa tersebut bergabung untuk mengorganisir diri membentuk Koperasi Perempuan. Mereka sadar betul dengan kemampuannya, yang tidak mungkin berjuang sendiri, tanpa bergabung dengan perempuan-perempuan lainnya untuk menghimpun kekuatan bersama.
Keberadaan Koperasi Perempuan yang telah mereka rintis tersebut ternyata telah memberikan makna yang sangat berarti bagi para anggota-anggotanya. Koperasi tersebut telah berkontribusi dalam mendorong tumbuh dan berkembangnya perempuan-perempuan pengusaha mikro yang berada di ketiga desa tersebut. Melalui dukungan dari YSKK, koperasi memberikan berbagai kegiatan pelatihan ketrampilan usaha, memfasilitasi kerjasama pemasaran dan akses permodalan bagi para anggotanya. Dengan mengandalkan potensi lokal hasil pertanian mereka mencoba membuat inovasi untuk meningkatkan nilai tambah berupa makanan olahan dan kerajinan.
Kini setelah satu tahun lebih dua koperasi yaitu Koperasi Karya Perempuan Mandiri di desa Watusigar dan Koperasi Mitra Usaha Perempuan di kecamatan Ngawen mendapatkan pengakuan dari pemerintah melalui penerbitan Badan Hukum Koperasi, tantangan yang dihadapi semakin bertambah meskipun disertai dengan peluang yang juga semakin besar pula. Meskipun bukan menjadi tujuan, namun prestasi yang diraih oleh kedua koperasi tersebut dengan masuk 10 besar koperasi terbaik di kabupaten Gunungkidul semakin menambah semangat dan keyakinan para anggotanya. Dukungan dari pemerintah juga semakin nyata melalui fasilitasi permodalan dan pelatihan untuk penguatan sumber daya manusianya.
Gerakan perubahan yang telah dimulai oleh para perempuan di tiga desa tersebut melalui penumbuh-kembangan perempuan pengusaha mikro dalam wadah koperasi perempuan secara nyata telah memberikan harapan perbaikan ekonomi di kabupaten Gunungkidul ditengah pesimisme sebagian masyarakat. Keterbatasan alam yang dimiliki oleh kabupaten Gunungkidul harus dijawab melalui kelebihan yang bersumber pada manusia.
Pembangunan ekonomi kerakyatan yang berbasis pada perempuan sebagaimana yang telah diinisiasi di 3 desa sejatinya juga memiliki makna yang strategis pula. Arus globalisasi yang berdampak pada masuknya para pemilik modal membangun dan menguasai pasar hingga pelosok desa hanya dapat dilawan dengan adanya bangunan ekonomi rakyat yang kuat. Tentu kita tidak ingin menyesal ketika sepulang dari merantau nanti, pusat-pusat ekonomi di kabupaten Gunungkidul sudah dikuasai oleh para pemilik modal dari luar.
Kangsure Suroto | Amy Supadmi