Lindungi Anak dan Remaja dari Rokok

Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) dan Yayasan KAKAK bekerja sama dengan 42 organisasi pemerhati anak (termasuk YSKK) menginisiasi gerakan bersama bertema “Lindungi Anak dan Remaja dari Keterjangkauan Harga Rokok Demi Sumber Daya Unggul Mencapai Indonesia Maju”. Dalam konferensi pada peringatan Hari Anak Nasional dan menyambut Hari Pemuda Internasional, Rabu (3/8) lalu, organisasi pemerhati anak tersebut menyampaikan urgensi pengendalian konsumsi rokok pada anak untuk menciptakan generasi unggul sehingga meningkatkan kesadaran pemerintah untuk meningkatkan kebijakan pengendalian tembakau. Organisasi pemerhati anak pun memberikan pernyataan sikap dan dukungan dalam pengendalian konsumsi rokok, terutama mendorong rokok harus mahal, untuk melindungi anak dan remaja dari keterjangkauan rokok.

Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI (2018) menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2% (2013) menjadi 9,1% (2018). Padahal Pemerintah memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu menurunkan persentase perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7%. Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28B Ayat (2) mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Namun, konsumsi rokok merenggut hak-hak anak menjadi tidak dapat bertumbuh kembang secara optimal. Jika akses untuk membeli rokok masih sangat mudah dijangkau oleh anak-anak, terutama dengan harga yang murah, maka dikhawatirkan mereka akan menjadi perokok pemula dan terjerat dalam produk adiktif yang secara perlahan akan merusak kesehatan dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa mendatang.

Rokok Mudah Dijangkau Anak

Harga rokok yang masih murah menjadi salah satu penyebab prevalensi perokok di Indonesia meningkat, termasuk perokok anak. Berdasarkan hasil studi Dartanto et al. (2020), efek harga (price effect) dan efek teman sebaya (peer effect) berhubungan dengan peluang seorang anak menjadi perokok. Dari efek harga, diperoleh jika semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok. Selain terhadap anak, harga rokok yang murah juga sangat berpengaruh terhadap masyarakat pra-sejahtera dimana mereka sulit berhenti merokok walaupun dalam kondisi perekonomian yang sedang sulit.

Apalagi saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan/ketengan. Studi Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) pada tahun 2021 menunjukkan anak usia sekolah sangat mudah membeli rokok batangan karena sebanyak 61,2% warung rokok berada pada radius ≤100 meter di sekitar area sekolah, dengan harga rokok batangan yang dijual pun masih terjangkau oleh uang saku anak, yaitu pada kisaran Rp1.500 per batang. Jika keterjangkauan akses untuk membeli rokok masih sangat murah dan mudah oleh anak-anak dan remaja, maka Indonesia akan kesulitan untuk mencapai penurunan prevalensi perokok anak menjadi 8,7% di tahun 2024 sesuai dengan target RPJMN 2020-2024.

Anak yang sudah terpengaruh oleh zat adiktif termasuk kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus. Upaya pencegahan harus dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah perokok usia anak. Edukasi di semua lini harus dilakukan, tetapi kebijakan tersebut harus berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak. Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan anak dari rokok. Diantaranya dengan menaikkan harga rokok menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak ditambah dengan kebijakan pengendalian lainnya.

Drs. Ahmad Taufan Damanik, M.A (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia/Komnas HAM) menyatakan bahwa rokok erat kaitannya dengan Hak Asasi anak. Komnas HAM sudah mengajukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang tujuannya agar anak lebih terlindungi dari bahaya rokok. Baik itu dari pengaruh sosial untuk ikut berperilaku merokok, bahaya asap rokok dari lingkungan sekitar, di rumah, di tempat umum maupun di transportasi umum. Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum meratifikasi FCTC tersebut.

Setidaknya harus ada kebijakan yang terus secara progresif, tahap demi tahap, mendekati apa yang menjadi substansi dari FCTC. Mestinya iklan, promosi, dan sponsorship dari rokok sudah lebih dibatasi terutama di ruang-ruang yang dekat dengan lokasi anak-anak yang dapat dilanjutkan lebih luas ke ruang-ruang publik. Pemerintah juga harus melakukan pembatasan yang tegas berupa pelarangan adanya rokok di sekitar sekolah atau misalnya taman untuk semakin melindungi anak.