Menuju Sekolah MANTAP (Manajemen Transparan, Akuntabel, Partisipatif)
Sebagai sebuah institusi penyedia layanan public di sector pendidikan, sekolah dituntut untuk mampu memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat yang terus berkembang ditengah situasi yang sangat dinamis. Hal ini tentu saja membutuhkan kemampuan manajemen sekolah yang baik, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan agar layanan yang diberikan oleh sekolah dapat berkualitas dan berkeadilan melalui manajemen yang efektif dan efisien.
Hal ini sejalan dengan mandat UU nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tentang MBS (Manajemen Berbasis Sekolah).
Maksud dari MBS adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepada sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. Paradigma MBS beranggapan bahwa, satu-satunya jalan masuk yang terdekat menuju peningkatan mutu dan relevansi adalah demokratisasi dan akuntabilitas pengelolaan dan penyelenggaran pendidikan.
Seiring dengan semakin berkembangnya iklim demokrasi di Indonesia, gerakan reformasi yang sudah dimulai sejak tahun 1998, pada saat ini bergeser pada reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi pada hakikatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan terutama menyangkut aspek-aspek kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan dan sumber daya manusia aparatur”. Pada akhirnya keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan good governance, karena reformasi birokrasi merupakan inti dari upaya penciptaan good governance, sehingga akan dapat meningkatkan kualitas pelayanan public yang pada akhirnya akan membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik tersebut dilakukan melalui berbagai langkah kebijakan. Kebijakan yang paling mendasar adalah mengubah mindset para birokrat dari bermental penguasa menjadi birokrat yang bermental pelayan masyarakat. Kebijakan lainnya adalah penataan kelembagaan pelayanan publik, penyederhanaan prosedur pelayanan, penerapan standar pelayanan minimal, peningkatan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi dalam manajemen pelayanan, serta penerapan sistem manajemen mutu dalam pelayanan publik, termasuk manajemen penanganan pengaduan masyarakat.
Untuk memperkuat landasan dalam memberikan jaminan pelayanan public yang berkualitas Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI. Selain itu, untuk memastikan masyarakat dapat memperoleh informasi mengenai fungsi, peran, dan bekerjanya badan public, pemerintah juga menerbitkan Undang-Undang No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Potret Layanan Pendidikan
Namun demikian, meskipun telah banyak dicapai dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik, juga disadari bahwa pemerintah belum dapat menyediakan kualitas pelayanan publik sesuai dengan tantangan yang dihadapi. Hasil survei integritas yang dilakukan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,84 dari skala 10 untuk instansi pusat, dan 6,69 untuk unit pelayanan publik di daerah. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya SOP, kesesuaian proses pemberian pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan serta kemudahan pengaduan masyarakat. Selain itu sebagian besar unit pelayanan publik belum menerapkan standar pelayanan, yang secara jelas dan transparan memberitahukan hak dan kewajiban masyarakat sebagai penerima layanan publik. Di samping itu, sistem manajemen pelayanan publik belum banyak memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) untuk memberikan pelayanan publik yang cepat, murah, transparan, dan akuntabel. Sistem evaluasi kinerja pelayanan publik juga masih lemah dalam mendorong kinerja pelayanan.
Khusus di sector layanan pendidikan, data dari KPK tahun 2004-2011 mencatat ada 321 pengaduan. Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perwakilan DIY selama tahun 2013 juga mencatat dari 180 pengaduan masyarakat yang paling banyak adalah terkait pelayanan pendidikan. Di Jawa Tengah melalui layanan pengaduan online ‘Lapor Gub’ dalam 1 bulan terdapat 8 pengaduan terkait pelayanan pendidikan, dan masih banyak lagi data-data pengaduan masyarakat terkait pelayanan pendidikan. Data ini hanya ingin mengkonfirmasi bahwa sampai saat ini pelayanan public bidang pendidikan masih belum steril dari pengaduan masyarakat. Pun dalam akses informasi, hasil uji akses terkait dengan pengelolaan dana BOS yang dilakukan YSKK dengan GEMA PENA (Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan) di 222 sekolah yang ada di 8 provinsi (Jawa Tengah, DIY, Jawa Barat, DKI Jakarta, Lampung, Jawa Timur, Banten, NAD), hanya ada 13% sekolah yang bersedia membuka akses informasinya.
Menjadi sebuah fakta bahwa sampai saat ini masih belum semua sekolah dapat menjalankan tata kelola yang baik sesuai prinsip-prinsip MBS yaitu Transparan, Akuntabel dan Partisipatif tersebut. Misalnya saja terkait dengan pengelolaan program BOS yang masih terjadi persoalan di banyak daerah yang diberitakan oleh media masa maupun dari hasil penelitian YSKK dan GEMA PENA. Kabupaten Bangka misalnya belum mempertanggungjawabkan Dana BOS tahun2013 sebesar 6 M karena banyak sekolah yang belum mempertanggungjawabkan kepada Dinas Pendidikan setempat. Kepala SDN 178223 Nadeak Bariba, Kecamatan Ronggur Nihuta, Kabupaten Samosir diberitakan melakukan korupsi dana BOS periode Juli 2009-Desember 2010 senilai Rp 30,7 jutadan harus masuk penjara.Korupsi dana BOS di SMP Taman Budaya Kota Jambi 2009-2012 yang dilakukan oleh Kepala Sekolah dan Bendahara BOS,dan masih banyak lagi kasus-kasus penyelewengan yang terjadi.
Sekolah MANTAP
Kasus-kasus tersebut tidak kemudian serta merta menjadi representasi dari wajah pengelolaan dana pendidikan di seluruh Indonesia. Masih cukup banyak sekolah-sekolah yang secara konsisten melakukan praktek-praktek baik pengelolaan dana BOS dan dana sekolah lainnya sesuai dengan prinsip Transparansi, Akuntabel dan Partisipatif. Sayangnya tidak banyak yang tertarik untuk mengangkat dan menyebarluaskan pengalaman (praktek baik) ini, sebagian besar lebih tertarik untuk mengangkat sisi negatif (kekurangan) dari praktek pengelolaan dana di sekolah.
Hal itulah yang melatarbelakangi YSKK bersama dengan tiga Dinas Pendidikan kabupaten/kota (kota Surakarta-Jawa Tengah, kabupaten Gunungkidul-DIY, kota Bandar Lampung-Lampung) dan didukung oleh USAID/ProRep menginisiasi Sekolah MANTAP. Ada 6 sekolah yang dipilih sebagai model, yaitu SDN Kleco 1, SMPN 8 Surakarta (Surakarta, Jawa Tengah), SDN Wonosari 1, SMPN 1 Wonosari 1 (Gunungkidul, DIY), SDN Rawa Laut, dan SMPN 16 Bandar Lampung (Bandar Lampung, Lampung). Tujuan utama dari insiasi tersebut adalah untuk memperkuat dan menyebarluaskan praktek-praktek baik tata kelola sekolah.
Sekolah “MANTAP” secara harfiah bermakna sekolah yang “tetap hati, kukuh, kuat”. Sedangkan secara bahasa sekolah “MANTAP” merupakan kepanjangan dari “Manejemen Transparan Akuntabel Partisipatif”.
Prinsip transparansi yang ingin diperkuat dalam sekolah MANTAP mensyaratkan data dan informasi sekolah bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti. Rencana Pengembangan Sekolah (RPS), Rencana Kerja dan Anggaran Sekolah (RKAS), Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), Laporan pertanggungjawaban program dan anggaran menjadi informasi public yang bisa diakses oleh public bahkan harus disediakan secara serta merta.
Aspek akuntabilitas berarti semua yang dilakukan sekolah dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan partisipatif, yaitu mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat. Peran komite sekolah harus mendapatkan ruang yang cukup sebagai mitra strategis sekolah sebagai representasi orang tua/wali murid dan stakeholder pendidikan.
Tantangan
Isu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi sebenarnya sudah menjadi “adigum” yang jamak dibahas diberbagai forum dan bahan perbincangan masyarakat. Tetapi implementasi di lapangan masih banyak mengalami tantangan yang luar biasa. Pengalaman ini juga kita alami selama pendampingan Sekolah MANTAP tersebut. Tantangan paling utama yang dihadapi adalah “mengajak orang untuk berubah” yang masih sulit. Budaya patriarkhi yang masih kuat dan pardigma pelayan masyarakat yang masih belum banyak dipahami menjadi factor penghambat perubahan di sekolah. Hal ini berdampak terhambatnya bangunan relasi dan komunikasi yang lebih baik antara sekolah dengan orang tua dan masyarakat.
Tantangan yang kedua adalah membangun kepedulian orang tua terhadap sekolah. Mayoritas orang tua menganggap bahwa bentuk kepeduliaan terhadap sekolah adalah berwujud material. Masih sangat jarang sekali orang tua yang mempertanyakan bagaimana kurikulum sekolah, rencana sekolah, capaian sekolah, pengelolaan anggaran, dll. Semestinya dengan adanya kebijakan pendidikan dasar yang biayanya ditanggung oleh negara, maka kewajiban orang tua tinggal mengawasinya.
Tantangan berikutnya adalah pemanfaatan tehnologi informasi yang masih terbatas di sekolah. Selain untuk mendukung pembelajaran, tehnologi informasi sebenarnya diciptakan untuk mendukung system tata kelola organisasi agar lebih baik (transparan, akuntabel, partisipatif) serta efektif dan efisien. Sayangnya, meski sekolah dan para gurunya seudah memiliki fasilitas tehnologi informasi yang memadai tetapi belum dimanfaatkan dengan baik.
Strategi peningkatan
Sebagai sebuah upaya, maka berbagai inisiatif untuk memperkuat tata kelola sekolah yang transparan, akuntabel dan partisipatif harus terus didorong dan didukung. Dinamika sosial dan budaya yang sangat tinggi membutuhkan institusi pelayanan public yang otonom termasuk sekolah untuk terus berubah. Menurut Slamet (2005:6 dalam Setiyono, 2014) ada delapan hal yang perlu dikerjakan sekolah untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
Pertama, sekolah perlu menyusun aturan main tentang sistem transparansi-akuntabilitas serta mekanisme pertanggungjawabannya. Kedua, sekolah perlu menyusun pedoman tingkah laku dan sistem pemantauan kinerja penyelenggara sekolah dilengkapi sistem pengawasan dengan sanksi jelas dan tegas. Ketiga, sekolah menyusun rencana pengembangan sekolah dan menyampaikan kepada publik/stakeholders di awal setiap tahun ajaran/anggaran. Keempat, menyusun indikator yang jelas tentang pengukuran kinerja sekolah dan disampaikan kepada stakeholders. Kelima, melakukan pengukuran pencapaian kinerja pelayanan pendidikan dan menyampaikan hasilnya kepada publik/stakeholders di akhir tahun. Keenam, memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan pengaduan publik. Ketujuh, menyediakan informasi kegiatan sekolah kepada publik sebagai penerima manfaat pelayanan pendidikan. Kedelapan, memperbaharui rencana kinerja sebagai kesepakatan komitmen baru.
Strategi di atas bertumpu pada kemampuan, niat baik, dan kemauan sekolah untuk mewujudkannya. Sekolah perlu melibatkan stakeholders pendidkan dalam menyusun dan memperbaharui sistem yang dianggap tidak dapat menjamin terwujudnya transparansi-akuntabilitas sekolah. Komite sekolah, orang tua siswa, kelompok profesi, dan pemerintah dapat dilibatkan untuk melaksanakannya. Sehingga stakeholders sekolah sejak awal tahu dan merasa memiliki akan sistem yang ada. Beberapa indikator keberhasilan transparansi dan akuntabilitas sekolah antara lain, meningkatnya kepercayaan dan kepuasan publik terhadap sekolah, tumbuhnya kesadaran publik tentang hak untuk menilai penyelenggaraan pendidikan di sekolah, dan meningkatnya kesesuaian kegiatan-kegiatan sekolah dengan nilai dan norma yang berkembang di masyarakat.