Strategi Pemerintah Menghadapi Resesi Ekonomi, Sudah Tepatkah?

Pandemi Covid-19 memberikan pukulan telak terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2020 mengalami kontraksi sebesar 5,32 persen, yang sebelumnya pada kuartal I 2020 hanya 2,97 persen. Meskipun belum mengalami resesi, pertumbuhan ekonomi negatif selama 2 kuartal secara berturut-turut telah dirasakan dampaknya oleh masyarakat Indonesia, dimana daya beli masyarakat menurun yang menyebabkan roda ekonomi sulit berputar.

Dampak kontraksi ekonomi juga dirasakan oleh UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah), dimana UMKM mengalami penurunan omzet yang signifikan sebagai akibat dari menurunnya penjualan. Bahkan berdasarkan Risalah ILO (International Labour Organization) pada Mei 2020 menyebutkan 2 dari 3 UMKM menutup usahanya baik secara sementara maupun permanen. Hal ini menjadi peringatan bagi perekonomian nasional mengingat UMKM merupakan penggerak terbesar pertumbuhan ekonomi karena 96 persen tenaga kerja diserap oleh UMKM.

Secara nasional, pemerintah telah menetapkan pilar-pilar strategi dalam mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional, di antaranya; Program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), serta Penguatan konsumsi pemerintah dan masyarakat. Program PEN membantu UMKM untuk bertahan di situasi pandemi dengan relaksasi kredit dan bantuan produktif. Sedangkan penguatan konsumsi pemerintah dan masyarakat berfungsi untuk meningkatkan daya beli sehingga roda ekonomi dapat bergerak. Namun, seberapa efektif program ini bisa berjalan di lapangan?

Ada beberapa catatan yang perlu menjadi perhatian pemerintah dalam pelaksanaan program ini, yaitu:

(1). Rendahnya realisasi pembiayaan untuk Program pemulihan ekonomi nasional (PEN) hingga pertengahan Agustus hanya mencapai Rp 174,49 triliun atau 25,1 persen dari Rp 695,2 triliun. Hal ini menunjukkan ketidaksiapan pemerintah (dari pusat hingga daerah/desa) baik secara SDM maupun sistem birokrasinya, sehingga berdampak pada rendahnya kinerja dan capaian program yang dijalankan.

(2). Ketidakakuratan data sasaran PEN untuk UMKM seperti subsidi bunga, dana restrukturisasi, dana penjaminan dan sebagainya, mengingat sebagian besar UMKM juga tidak mendapatkan layanan dari program tersebut yakni sekitar 80% (data INDEF). Data yang tidak akurat sangat berpotensi menyebabkan terjadinya salah sasaran program.

(3). Prosedur yang rumit dan tumpang tindih justru menyulitkan dalam proses pencairan anggaran dan menghambat implementasi kebijakan di lapangan. Tidak adanya skenario birokrasi di masa pandemi dan ketidaksiapan kelembagaan pemerintah dalam menyiapkan mekanisme konsultasi dan pembinaan UMKM secara masif untuk mendukung proses ‘recovery’ dengan pelibatan lintas sektoral, semakin memperkeruh pelaksanaannya.

(4). Tak kalah penting adalah, perlunya rumusan strategi pengawasan yang akurat dengan melibatkan berbagai pihak terkait (termasuk NGO/LSM yang memiliki basis dampingan di akar rumput yang kuat) dalam pengelolaan anggaran program dengan jumlah besar namun harus terdistribusikan dalam waktu yang relatif cepat, agar dapat meminimalisir kebocoran dan kemubazirannya. Selain itu, juga untuk mengantisipasi ‘agenda titipan’ dari calon kepala daerah petahana pada Pilkada 2020 ini.

Program PEN memang harus segera direalisasikan demi menahan penurunan pertumbuhan ekonomi semakin dalam. Semakin cepat akselerasi dan ketepatannya, maka  akan semakin efektif dalam menjaga keberlangsungan pertumbuhan ekonomi, terutama dari sisi demand dan supply di sektor riil. Jika kebijakan dan implementasi masih lambat, sangat mungkin pertumbuhan ekonomi di kuartal tiga juga akan minus, sehingga semakin mendekatkan ke jurang resesi. (is)